Senin, 09 Februari 2009

Ganti Kerugian Alam

PENGGUNAAN ENERGI BAHAN BAKAR MINYAK
diketik ulang oleh nir-violence

Mengulas di Amerika Utara pada awalnya pertumbuhan ekonomi memuncak, kemudian menyebar dengan cepat ke Eropa dan Jepang, dan ini memerlukan energi. Penggunaan langsung bahan bakar padat seperti batubara dan kayu, secara luas dihapus secara bertahap di hampir semua negara industri antara tahun 1950-1970 dan diganti oleh minyak, listrik dan gas alam. Dari Oslo ke Osaka, cahaya listrik dan pencakar langit yang di lengkapi AC menjadi pemandangan yang lumrah, sedang ketergantungan kendaraan bermotor, truk dan transportasi udara pada minyak juga terus naik. Pada awal dekade 70-an, jumlah energi yang ada digunakan seluruh dunia lebih dari tiga kali dibanding tahun 1950, sementara itu penggunaan minyak telah naik lebih lima kali lipat.1

Tahun 1950, terbentuk “Seven Sisters” yang terdiri dari Esso ( sekarang Exxon ), British Petroleum, Shell, Standard Oil of California, Mobil, Texacodan Gulf yang memproduksi minyak di perdagangan internasional. Lalu tahun 1960, lima Negara eksportir terbesar, Iran, Iraq, Kuwait, Arab Saudi dan Venezuela bergabung bersama dan membentuk organisasi OPEC (1957) yang menyediakan supply minyak.2

Boom energi sesudah perang tidak akan bertahan lama tanpa eksploitasi ladang ladang minyak dunia terbesar di timur tengah. Periode – periode awal pertumbuhan energi memerlukan relatif kecil perdagangan untuk bahan bakarnya, tetapi selama periode 50-an dan 60-an, negara –negara yang tidak memiliki minyak sendiri sedikit ragu tentang perubahan ekonomi berdasarkan minyak. Jepang, misalnya, membuat keputusan hati-hati, tidak mau terburu-buru menghapus secara bertahap produksi batu bara domestik, meski berbiaya tinggi pada dekade 60 -an, dan banyak negara berkembang mengganti produk minyak dengan bahan bakar tradisional kayu. Bahkan Amerika Serikat, yang membawa dunia ke dalam era minyak, melihat puncak produksinya pada tahun 1972 dan mulai merasa butuh untuk menimbun minyak Timur Tengah. Dengan demikian, ratusan tanker minyak menyebar dari Timur Tengah untuk mensuplai dunia dengan minyak. Minyak tidak hanya menjadi sumber energi yang dominan tetapi juga suatu katup pengaman yang mudah dan murah dapat menggantikan batubara di Jepang, kayu di India, dan sumber-sumbar energi lainnya di lain tempat.

Beberapa orang baru menyadari pada awal 70-an bagaimana cepatnya pasaran minyak dunia diperketat. Dengan ekonomi yang tumbuh 4% pertahun, penggunaan minyak menjadi dua kali lipat setiap dekade. Kekuatan pasar negara negara Arab tumbuh dengan cepat, tetapi meskipun begitu akan mampukah bangsa- bangsa ini menopang pertumbuhan demikian selamanya. Pada waktu itu, beberapa analis mulai memperingatkan bahwa beberapa krisis mungkin siap menghadang di depan, walaupun mereka berpikir bahwa hal itu mungkin baru terjadi 5 – 10 tahun kemudian. Sebagaimana sering terjadi. Pada saat awan muncul di kejauhan sedangkan ufuk bercahaya di tempat lain, peringatan-peringatan sporadis ini umumnya menghilang karena tidak sejalan dengan semangat jamannya.

Embargo minyak tahun 1973, ternyata hanya merupakan krisis energi pertama dekade itu. Pada januari 1979, Shah Iran melarikan diri dari Teheran, setelah memuncaknya revolusi selama setahun oleh para pemimpin religius maupun sekular yang muak dengan korupsi keluarga kerajaan dan rezim yang lalim. Sebagai buntut dari kampanye yang adakalanya kejam, sehingga hengkangnya Shah, yang terjadi pada negara pengekspor terbesar kedua dunia itu adalah pemogokan oleh para buruh ladang- ladang minyak yang membuat terhentinya ekspor. Alhasil, keadaan kacau balau, dan paniknya pasaran dunia hampir tiga kali lipat, yang memacu resesi yang lebih parah dari sebelumnya dalam dekade itu. Keadaan ini bertahan terus hingga tahun 1986, ketika harga minyak jatuh kurang dari UU$ 20 perbarel – masih 50% di atas rata rata harga yang berlaku seabad sebelumnya.

Menurut kebijaksanaan dekade 70-an, hanya pembangunan yang cepat dari bahan bakar baru atau teknologi yang magis yang dapat mengembalikan kembali ekonomi dunia pada jalur pertumbuhannya. Akibatnya adalah serangkaian usaha besar-besaran di biayai pemerintah untuk mengkomersialkan segala sesuatu dari reaktor penghasil listrik sampai ke pembangkit tenaga surya dan bahan bakar cair yang menggunakan batu bara. Rencana-rencana itu mencerminkan keyakinan umum bahwa penggunaan langsung listrik—pengangkut energi “modern” yang serbaguna – adalah alternatif terbaik untuk mengganti minyak. Pada saat astronot Amerika Serikat baru saja mendarat di bulan dan beberapa ilmuwan sedang meramalkan kemungkinan adanya obat untuk kanker, rasa optimis terhadap teknologi energi tampaknya tidak begitu optimis. Pada dengar pendapat legislatif dan pesta- pesta coktail, ada ungkapan yang sering terdengar: “ Jika kita dapat pergi ke bulan, yakinlah kita dapat …”. Menggunakan filsafat itu sebagai pedoman, bagaimana miliaran dolar dana pemerintah telah di investasikan dalam jajaran teknologi energi baru selama dua dekade – namun seringkali hasilnya mengecewakan.

Tenaga nuklir mungkin yang paling mengecewakan, mengacu kesepakatan ilmiah yang hampir bulat sependapat dan begitu mempesona para pemimpin pemerintah di tahun 1973. Meskipun subsidi besar-besaran dan usaha – usaha publik yang agresif, kontribusi dari reaktor baru mulai menurun segera sesudah krisis minyak pertama – secara perlahan dengan naiknya biaya dan tumbuhnya perhatian public, bahkan kemudian ditambah kecelakaan di Three Mile Island pada tahun 1979 dan di Chernobil pada tahun 1986. Dimulai di Amerika Serikat pada akhir 70-an, kemudian menyebar ke Eropa Barat pada pertengahan tahun 80-an dan bekas blok Timur pada tahun 90-an, hampir semua program ekspansi nuklir di hentikan’’.

Pada tahun 1990, sesudah dua dekade pertumbuhan yang cepat, produksi nuklir dunia lalu mendatar – mensuplai pada waktu itu 17% listrik dunia dan 5% dari total jumlah energi. Produksi energi nuklir itu sekarang nampaknya akan menurun jika dilihat dari pertumbuhan penggunaan tenaga nuklir antara tahun 1990- 2000, dan banyak pabrik yang di bangun pada dekade 60-an dan 70-an mungkin segera dipensiunkan. Bahkan pendukung paling kuat energi nuklir meninggalkan perdebatan bahwa apabila pemerintah-pemerintah kembali merencanakan dan merangsang reaktor yang lebih sederhana dan lebih aman, Kejayaan nuklir mungkin tumbuh lagi –tetapi bukan untuk dua dekade ke-depan. Karena Tidak pernah sebelumnya teknologi baru utama mundur begitu cepat.

Setelah bintang nuklir pudar pada dekade 80-an, batu bara menjadi pilihan alternatif untuk banyak negara yang mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada minyak. Di seluruh dunia, panggunaannya meningkat labih dari 30% antara pertengahan tahun 70 -an dan akhir 80- an. Beberapa negara malahan mengikuti jalan terobosan Jepang yaitu mengimpor batu bara untuk menggantikan minyak impor. Namun boom batu bara dekade 80–an terbatas terutama karena masih ada pembangkit tenaga listrik dan juga tidak bisa mengganti penggunaan minyak yang sangat besar dalam transportasi dan industri. Karena bahan bakar padat itu kotor dan boros tempat, batu bara tidak mudah menggantikan minyak. Beberapa usaha pemerintah untuk menganjurkan perubahan dari batu bara ke bahan cair sintetis dengan cepat terhempas – ditimpa oleh kendala-kendal teknis yang tidak di harapkan dan biaya yang sangat besar. Pada akhir dekade, hampir seluruh proyek ini telah di tinggalkan.

Namun demikian, di negara- negara yang padat penduduk, seperti Cina dan India, batu bara memainkan – dan masih berlangsung – peranan yang lebih besar. Kedua negara itu memiliki cadangan batu bara yang sangat besar, dan tak ada dana yang cukup untuk membeli minyak impor. Akibatnya, batu bara digunakan secara meluas untuk pemanasan rumah dan memasak, demikian juga untuk bahan bakar pabrik-pabrik, menjalankan kereta api, dan pembangkit tenaga listrik. Di Cina, batu bara diperkirakan 76% dari suplai energi komersial negara itu pada tahun 1990, suatu institusi yang mirip Inggris Raya pada akhir abad ke- 19.

Minyak juga di gantikan oleh sumber-sumber energi lainnya. Kepercayaan pada tenaga hidrolistrik ( hydri power ) tumbuh terus meneris, terutama di negara- negara berkembang. Banyak pengrajin kayu dan pabrik kertas di Canada Amerika Serikat meningkatkan pembakaran kayu sisa mereka, dan penggunaan energi panas bumi ( geotermal ) Di Filipina. Penggunaan gas alam naik dengan cepat di beberapa negara, khususnya Uni Soviet, tetapi gagal di beberapa nagara lain karena suplai temporer saja waktunya. Kesemuanya ini membuat saham minyak untuk penggunaan energi dunia jatuh dari tahun 1850 ke depan, dan sosok pengembangan ekonomi energi dunia dapat dilihat dari skala mikro. Minyak masih nomor satu, pada 34,7% pada tahun 1970 menjadi 31% pada tahun 1992.

Di Amerika Serikat, di mana angka- angka komprehensif tersedia dari tahun 1850 ke depan, sosok pengembangan ekonomi energi dunia dapat di lihat dalam skala mikro. Minyak masih nomor satu, pada 37 %, tetapi sahamnya jatuh, sedangkan batu bara dan alam masing- masing ada di pertengahan angka dua puluhan, dengan batu bara yang stabil, dan gas yang naik. Sumber- sumber energi lain –tenaga nuklir, hidrolistrik, biomas –masing- masing menambah kurang 8% dari jumlah suplai energi, dan pada dasarnya statis. Energi surya dan angin telah juga mencapai 1% saham yang akan memberikan mereka suatu tempat di Amerika Serikat atau pada peta energi dunia. Sementara tren suplai akhir – akhir ini agaknya ambigu, perkembangan lainnya lebih jelas – terurama pembalikan tajam dalam tren konsumsi. Penggunaan minyak dunia turun lebih dari 10 % antara tahun 1979 dan tahun 1985, kemudian melambung di tahun tahun berikut. Bahkan pada tahun 1993 penggunaan minyak dunia masih juga 12% di atas tingkat 1973. ( Dengan perbandingan, pertumbuhan penduduk dunia lebih dari 40 % selama periode yang sama, dan aktifitas ekonomi sebesar 65% ).

Turunnya ketergantungan akan minyak ini berakibat luas mulai dari usaha- usaha diaolg, khususnya oleh mereka yang ingin memperbahurui efiensi terhadap minyak yang di konsumsi. Kecenderungan ini paling jelas pada mobil- mobil Amerika, yaitu sesudah dekade- dekade ekonomi bahan bakar mandeg, efesiensi rata- rata mobil baru menjadi dua kali lipat dari 14 mil per galon dalam tahun 1974 menjadi 28 mil per galon pada 1985 ( dari 16,8 liter per-100 kilometer menjadi hanya 8,4 liter ). Mengurangi berat, mesin lebih kecil, bentuk lebih aerodinamis, transmisi lebih diperbaharui, dan ban yang lebih lancar, merupakan antara lain pembaharuan- pembaharuan relatif sederhana yang di lakukan para pembuat mobil. Bahkan kemudahan industri mampu memotong penggunaan energi dalam jarak yang sama. Di Amerika Utara, Eropa dan Jepang, untuk ukuran terbaik keseluruhan produktifitas energi—jumlah GNP per-unit energi yang digunakan – telah meningkat 40 – 45% sejak awal tahun 70 an, memotong jumlah minyak dan bahan bakar lain yang diperlukan untuk menjalankan perekonomian.

Pengaruh yang sama pentingnya adalah bahwa selama 12 tahun tingginya harga minyak membohongi negara berkembang. Meskipun pemindahan kekayaan yang sangat besar ke Timur Tengah selama dekade 80-an datang sebagian besar dari negara- negara industri, negara - negara miskin tetap menderita kerugian yang paling parah. Pada tahun 1973, banyak negara ini coba mengurangi dalam banyak hal memakai sistim- sistim energi yang menggunakan listrik dan minyak – rencana- rencana yang dengan cepat dihentikan. Hampir semua menemukan diri malah menghabiskan banyak cadangan uang yang harganya tetap ( hard- frecuency reserves ) milik mereka dalam pengimporan minyak yang dibayar dengan dolar Amerika sepanjang dekade 70 an dan 80 an.

Tiga perempat dari negara- negara berkembang mengimpor minyak pada tahun 1970, dan dari 38 negara termiskin, 29 negara harus menjalankan lebih dari 70 % energi komersial mereka – hampir seluruhnya berupa minyak. Bahkan pada harga yang lebih rendah saat ini, banyak negara Afrika sekitar gurun sahara menghabiskan seperempat sampai setengah pendapatan uang yang harganya tetap mereka untuk mengimpor minyak, investasi secara efektif hilang untuk bidang- bidang lainnya.

Hal ini memperbesar krisis hutang dunia dekade 80- an dan pada penurunan berikutnya dalam pendapatan perkapita di banyak negara Afrika dan Amerika latin. Selama dekade lalu, rekening atau tagihan/ hampir sama dengan 87% hutang barunya dan menyedot hampir sepertiga pemasukan uang ekspornya. Satu konsekuensi dari peluncuran ekonomi ini adalah bahwa pertumbuhan dalam pembangunan energi melambat di negara- negara berkembang. Pada 1992, dunia ketiga – dengan hampir 805 penduduk dunia – masih menggunakan hanya dalam 35 % dari energi utama dunia. Tidak seperti negara- negara industri, situasi ini mengakibatkan berkurangnya efesiensi dibandingkan dari kemunduran secara umum dalam pertumbuhan ekonomi.

Hampir semua analis sependapat bahwa kolapsnya harga minyak pada 1986 – ketika Arab Saudi memutuskan memperlonggar kontrol produksi dan menarik kembali saham- sahamnya di pasaran –menunjukkan suatu kemelut yang hampir sama seperti krisis pada 1973. Harga minyak mencapai titik paling rendah kurang dari U$ 10 perbarel pada 1986, bergeser dari U$. 15 sampai U$ 25, kurang dari setengah harga yang dibayar mata uang yen sesungguhnya turun dibanding sebelum embargo minyak (sebagian disebabkan kuatnya mata uang yen ), sementara di Amerika Serikat harganya berkurang dari rata-rata saat ini dalam berkendaraan per-kilometer, beruntung atas peranan penggandaan ekonomi bahan bakar.

Turunnya harga mimyak secara ilmiah memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat dan meningkatkan penggunaan minyak. Sampai begitu jauh, pasaran minyak telah mampu menyerap meningkatkan permintaan, dengan harga yang relatif tetap kecuali pada akhir tahun 1990 ketika terjadi krisis perang teluk. Dibanyak negara, “ isi keamanan energi “ yang begitu menguasai politik dalam awal 80-an telah pudar. Namun dipertengahan dekade sampai ketahun 90-an, suatu debat seru telah muncul kembali dalam lingkungan akademis dan pemerintah tentang bahaya- bahaya ketergantungan yang terlalu barat pada minyak Timur Tengah, dan apakah ada krisis minyak lagi dalam waktu yang agak lama. Jawaban atas pertanyaan ini akan turut menentukan langkah perubahan dalam tren energi dunia di tahun- tahun berikut.

Periode harga rendah minyak belakangan ini mulai mengurangi keadaan- keadaannya yang menciptakannya. Salah satu sebabnya, ekonomi bahan bakar mobil sedikit saja meningkat di banyak negara maju, sementara penggunaan mobil- mobil melonjak di negara berkembang. Perubahan yang paling drastis muncul di asia, dimana konsumsi minyak dunia meningkat 50 % sejak tahun 1985 dan diproyeksikan akan terus naik. ( Korea Selatan, pada tahun 1992 saja naik sebesar 21 % ). Pesta pora yang sama sedang berlangsung di Amerika latin dan Timur Tengah. Penggunaan minyak sedang tumbuh lebih lamban dari di wilayah industri Amerika Utara dan Eropa, namun demikian disana pertumbuhan yang lebih jauh diharapkan oleh hampir semua pengamat. Sementara itu penggunaan minyak secara nyata menurun sampai 25 % lantaran kelesuan ekonomi Eropa Timur dan bekas Uni Soviet selama awal dekade 90-an; ini untuk sementara waktu menutupi kenaikan- kenaikan di lain tempat. Sebagian besar pengamat memprediksi suatu banjir permintaan minyak dunia pada akhir dekade 90 an.

Produksi minyak diluar Timur Tengah tetep terbatas. Sebagian ladang- ladang minyak yang diproduktifkan selama dua dekade lalu di Meksiko, Alaska, dan Siberia tidak lagi berkembang, dan dalam beberapa hal ladang- ladang itu sedang menyusut. Di Amerika Serikat, penghasil nomor dua saat ini, produksi harian telah turun dari hampir 9 juta barel pada tahun 1985 menjadi 7 juta barel pada tahun 1993, yang memaksa Amerika Serikat mengimpor dari 3,3 juta barel per hari menjadi 6,7 juta barel – yang menyebabkan rekor 40% dari konsumsi minyak Amerika Serikat. Para analis pemerintah mengharapkan menurun sekurang-kurangnya satu juta barel per-hari dalam produksi Amerika Serikat berkurang, perusahaan-perusahaan minyak terkemuka Amerika Serikat secara bertahap telah mengalihkan lebih dari separuh investasi eksplorasi mereka dari Texas, Oklahama, dan lokasi-lokasi domestik lainnya ke luar negeri yang lebih prospektif hasilnya.3

III. KETERSEDIAAN CADANGAN MINYAK 20 TAHUN KEDEPAN

Didalam beberapa paket inovasi, para perencana dan analis di lembaga-lembaga energi terkemuka dunia nampaknya terjebak dalam stagnasi dan kebingungan yang dimulai dengan kegagalan berulang kali pada tahun 1970-an dan 1980-an dalam mengembangkan strategi energi yang aktif. Suatu tinjauan terhadap ramalan-ramalan energi yang resmi dan studi-studi para ahli menyingkap suatu konsesus yang agak mengejutkan bahwa selama beberapa decade mendatang hanya akan terjadi perubahan-perubahan kecil, dengan memberikan lebih sedikit efisiensi, dan masih sedikit hasil-hasil upaya pembersihan ekonomi energi berdasarkan bahan bakar minyak bumi dewasa ini. Menurut para ahli, setiap jenis energi masa depan lainnya mungkin akan mahal dan tidak praktis.4

Pandangan konsensus akan masa depan energi dunia, sebagaimana digariskan Dewan Energi Dunia (The World Energy Council) dan organisasi lainnya, paling jauh hanya dapat digambarkan sebagai suatu status quo plus. Konsesus ini mengantisipasi ekonomi energi yang ditandai oleh ketergantungan yang berat dan terus menerus pada bahan bakar fosil, yang dimungkinkan oleh perubahan tahap demi tahap dari minyak konvensional menuju sumber-sumber fosil yang kelasnya lebih rendah (dan lebih berlimpah), seperti batubara muda (lignite) dan serpih yang mengandung minyak (oil shale), dengan tujuan menghindari keharusan membuat perubahan-perubahan kebijakan teknologi yang drastis.

Waktu peralihan ke sumber-sumber energi baru mulai perlu untuk memaksa langkah perubahan lebih cepat dan mempercepat peralihan ke sistem-sistem lain. Ketergantungan dunia pada minyak Timur Tengah akan meningkatkan resiko krisis, sementara ketersediaan cadangan minyak lambat laun dan lama kelamaan akan menipis.5

Sementara pembentukan minyak bumi dimulai jutaan tahun yang lalu dari proses pelapukan jasad renik, tumbuhan mikroskopis dan mikro organisme laut (planton) yang mengalami pembusukan. Dibawah pengaruh suhu dan tekanan tinggi berubah menjadi minyak bumi dan gas alam yang terkumpul dalam pori-pori batu kapur dan batu-batu pasir. Karena aksi kapiler minyak dapat naik dan karena terhalang batuan yang tidak berpori akan terakumulasi dalam perangkap minyak. Pengambilan dilakukan dengan pengeboran biasanya pengeboran rotasi dengan bor yang berputar yang ideal jika ujung bor tepat menembus lapisan minyak, karena tekanan gas yang tinggi diatas lapisan ini akan membentuk dan menekan minyak itu keatas. Proses terjadinya minyak bumi membutuhkan waktu jutaan (30-500 juta tahun) karena itu minyak bumi digolongkan sumber daya yang tidak diperbarui (unrenewable), dan kewajiban manusia untuk menghemat pemakaiannya. Kecuali itu, harus digunakan sumber energi alternative misalnya energi panas bumi, energi angin, energi surya, energi air, energi nuklir batu bara dan lainnya.

Penggunaan minyak bumi untuk meningkatkan efisiensi pembakaran perlu ditambah TEL(Tetra Etil Timbal IV Pb atau (C2H5)4. Efisiensi dinyatakan dengan besaran bilangan oktan, makin tinggi bilangan oktan makin baik proses pembakaran didalam mesin. Pembakaran yang tidak efisien akan banyak membuang energi dalam bentuk panmas dan menimbulkan ketukan (knocking) atau bensin batuk-batuk. Menurut perjanjian bilangan oktan heptana diberi nilai nol dan iso oktana 2,2,4 tri metal pentane nilainya 100. Alkana rantai lurus mempunyai angka oktan lebih rendah dibandingkan alkana bercabang. Bensin premium mempunyai angka oktan 82, artinya efisiensinya sesuai dengan campuran 82% iso oktana dan 18% heptana. TEL dapat menaikkan angka oktan, namun senyawa timbal yang keluar bersama sisa pembakaran sangat berbahaya, karena bisa enimbulkan anemia, sakit kepala, kerusakan otak, kebutaan dan kematian. Adapun urutan fraksi pengolahan dimulai dari fraksi gas, petroleumeter, ligraolin, bensin, kersin, solar, minyak pelumas, patafin dan terakhir aspal atau residu.6

Para ilmuwan memperkirakan bahwa dunia harus memperkecil emisi karbon global paling tidak 60% dibawah tingkat yang ada sekarang agar menstabilkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Sebaliknya, Badan Energi Internasional (the International Energy Agency) sekarang memproyeksikan hampir 50% bertambahnya emisi antara 1990-2010, dan paling banyak emisi ini terjadi di Dunia ketiga, dimana emisi karbon per kapita sekarang ini akan bergeser dari 1/20 menjadi 1/5 dari negara-negara industri. Tantangan ini akan dipersulit oleh kebutuhan-kebutuhan energi yang makin bertambah di negara-negara berkembang, yang telah berjumlah lebih dari 4 miliar orang – angka yang diproyeksikan mencapai lebih dari 6 miliar orang ditahun 2020. Penduduk negara-negara berkembang tercatat lebih dari ¾ penduduk dunia, tetapi hanya menggunakan energi 1/3 energi dunia – tingkat perkapitanya rata-rata kurang dari 1/8 dibanding negara-negara industri. Konsumsi energi Dunia Ketiga telah dua kali lipat sejak tahun 1970, dan secara umum diproyeksikan akan dua kali lipat lagi dalam 15 tahun berikut dan berkembang menjadi enam kali lipat pada tahun 2020.7

Masalah yang masih pekerjaan rumah yang tetap jadi pertanyaan adalah bagaimana, didunia ini tidak lagi mengandalkan minyak dan batubara. Perlu membuat terobosan baru, dengan membuat peralihan secara bertahap ke sistem energi yang sama sekali berbeda – energi yang sepenuhnya mengandalkan sumber-sumber energi yang dapat diperbarui. Mengacu pada pengangkut energi potensial oleh penulis Jules Verne lebih dari seabad lalu, hydrogen adalah unsure kimia yang paling ringan dan juga bahan baker yang mungkin paling sederhana; dapat dibuat secara massal langsung dari air, menggunakan energi surya atau angin, atau dari biomass.8

IV. PENGEMBANGAN ENERGI ALTERNATIF

I.Hidrogen sudah digunakan baik sebagai bahan bakar dalam industri kimia maupun sebagai bahan bakar roket dalam program ruang angkasa. Teknologi hydrogen terus maju pesat dan kendala-kendala untuk penggunaan yang meluas dari bahan bakar ini telah runtuh: Penggunaan hydrogen akan memungkinkan membawa energi melalui pipa saluran dengan cara seperti gas alam sekarang ini – dan jauh lebih murah daripada biaya transmisi listrik saat ini. Beberapa decade dari saat 1995, hydrogen dapat disalurkan dengan pipa dari Great Plains di Amerika Utara ke daerah pesisir sebelah timur, dan dari gurun Cina sebelah barat ke pesisir pantai padat penduduk. Tujuan lain dari saluran pipa itu: dapat digunakan secara langsung untuk peralatan pabrik yang sangat efisien dan berbagai perlengkapan rumah tangga, termasuk sel-sel bahan bakar yang memungkinkan rumah-rumah tangga membangkitkan tenaga listrik sendiri.

II.Hidrogen dan fuel cell disebut-sebut sebagai alternative ideal pengganti bensin dan mesin internal combustion yang digunakan sekarang ini. Dengan serangkaian terobosan teknologi dapat mendorong efisiensi bahan bakar mesin internal combustion, juga mereduksi emisi hingga 95% dan meningkatkan performa. Namun, jangan terpaku dengan mengembangkan fuel cell saja, tapi juga mesin internal combustion, menurut Helmut List, chairman AVL List GmbH, perusahaan powertrain engineering, di Graz, Austria. List menilai sebuah kesalahan bila berpikir hydrogen adalah satu-satunya jawaban untuk menurunkan konsumsi bahan bakar dan mereduksi emisi. List menilai masih butuh waktu 15 tahun kedepan untuk disempurnakan. Riset yang dikembangkan Hazem Ezzat, director of GM Powertrain’s research lab, riset berhasil meningkatkan efisiensi bahan bakar mesin bensin hingga 25%. Keuntungan-keuntungan itu bisa diperoleh kombinasi teknologi seperti hybrid powertrain, cylinder deactivation, gasoline direct injection, variable valve timing dan system transmisi enam speed. Mercedes Benz telah mengembangkannya.9

III.Palm Biodiesel - bahan bakar pengganti solar

Penggunaan alcohol sebagai substitusi bensin untuk kendaraan bermotor, diterapkan di Brasil, Negara penghasil gula, dengan mensintesis alcohol dari tebu untuk pengganti bensin. Beberapa minyak tumbuhan juga pernah digunakan untuk bahanbakar inyak. Rudolph Diesel- penemu mesin diesel- menggunakan minyak kacang untuk menghidupkan mesin injeksinya untuk pertama kalinya. Tak kalah menariknya adalah tentara Jerman pada perang dunia kedua, memakai minyak goreng sebagai bahan bakar tank ketika kehabisan bensin di gurun sahara. Pengalaman Rudolph Diesel telah mengilhami beberapa Negara maju di Eropa untuk mengonversi minyak tumbuhan menjadi bentuk bio energi guna menggerakkan kendaraan bermotor. Di Jerman, bioenergi telah menjadi energi masa depan. Industri-industri mobil Jerman kini sudah dikembangkan sungguh-sungguh untuk menggunakan bioenergi dari minyak rapeseed sebagai bahan bakar. Demikian juga Amerika Serikat, telah mengembangkan dan menggunakan bioenergi dari minyak kedelai. Palm biodiesel merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan penggunaan bioenergi sebagai energi alternative, yang bahan bakunya tersedia melimpah, yakni kelapa sawit. Berbekal lahan perkebunan kelapa sawit seluas 3,5 juta hektar, Indonesia dapat menghasilkan minyak sawit 7,0 juta ton/ tahun. Yang sayangnya, sebagian besar minyak sawit mentah ini diekspor dala bentuk CPO (crude palm oil) tanpa proses terlebih dahulu menjadi berbagai produk turunannya yang memberi nilai tinggi. Melihat keberhasilan Negara-negara maju Eropa dan Amerika Serikat yang mengembangkan minyak rapeseed dan minyak kedelai yang dikenal dengan biodiesel, Indonesia seharusnya dapat memproduksi biodiesel berbasis minyak sawit (palm biodiesel). Palm biodiesel memberi efek polusi lebih rendah, dengan emisi gas berbahaya seperti karbon monoksida (CO), ozon (O3), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) dari bahan bakar campuran palm biodiesel dan petrodiesel (solar) lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar solar murni.

Biodiesel dapat digunakan dalam bentuk murni atau dicampur dalam berbagai ratio dengan petrodiesel. Yang paling umum adalah 20 bagian biodiesel : 80 bagian biodiesel petrodiesel atau kerap disebut B20. Semakin banyak jumlah biodiesel dalam campuran maka emisi gas buang yang dihasilkan makin baik. Penggunaan minyak sawit secara langsung untuk menggantikan solar tidak disarankan. Karena dapat menghasilkan senyawa plastis yang semi padat dari gliserin yang bisa mengganggu kerja mesin.

Selama pembakaran, minyak sawit akan terurai menjadi asam lemak dan gliserin yang selanjutnya berubah menjadi senyawa yang plastis dan membentuk deposit yang bisa menganggu kerja pompa injector. Guna menghilangkan gangguan mesin ini, minyak sawit dikonversi terlebih dahulu menjadi metal ester. Proses konversi bisa dilakukan lewat transesterifikasi minyak sawit dengan methanol sehingga dihasilkan gliserin dan metil ester. Metil ester ini kemudian dipisahkan dan dicuci untuk menjadi biodiesel yang siap digunakan. Produk saping dari proses ini, yaitu gliserin merupakan bahan baku industri yang sangat luas penggunaannya, mulai dari bahan kosmetika, sabun hingga farmasi dan obat.

Ini artinya industri biodiesel dapat menghasilkan bahan baku untuk industri farmasi dan kosmetika yang sangat berharga, yang pada gilirannya dapat menekan biaya produksi biodiesel. Potensi Pasar Satu hal yang menjadi persoalan dalam pengembangan palm biodiesel di Indonesia adalah subsidi BBM yang masih besar sehingga harga jual petro diesel domestic lebih rendah dibanding harga di pasar internasional. Sementara, potensi pasar palm biodiesel adalah masyarakat Eropa. Konon, Negara-negara Eropa yang menjadi konsumen biodiesel terbesar didunia sudah mulai kewalahan menyediakan. Hampir tidak mungkin dilakukan perluasan lahan atau ekstensifikasi untuk penanaman rapeseed karena keterbatasan lahan. Karena sulitnya, bahan baku minyak goreng bekas dari berbagai restoran dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Pasar inilah yang harus diisi, jika Indonesia sudah mampu memproduksi palm biodiesel secara komersial. Berbagai keuntungan jelas akan dituai di masa datang. Pengembangan industri palm biodiesel secara komersial tidak saja akan menyerap ribuan tenaga kerja tetapi juga menguntungkan secara ekologis.

Selain memiliki emisi gas berbahaya yang lebih rendah, juga kelapa sawit- mempunyai produktifitas minyak terbesar dibanding minyak nabati lainnya- akan menyerap karbondioksida lebih banyak. Selanjutnya, memproduksi oksigen lebih banyak pula sehingga perkebunan kelapa sawit yang makin luas akan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Artinya, palm biodiesel tidak hanya menghadirkan energi alternative tapi juga mendatangkan multiplier effect di masa datang.10

Penelitian Tatang H. Soerawidjaja, staf pengajar Teknik Kimia ITB, serta ketua Forum Biodiesel Indonesia, menyebutkan selain terbuat dari palm, minyak nabati dari kelapa sawit, bisa juga diperoleh dari kelapa, jarak pagar, kapok, malapari, nyamplung dan lain sebagainya. Ia menyebutkan, jika 2 persen saja konsumsi solar disubstitusi dengan biodiesel, maka akan dibutuhkan sekitar 720 ribu kiloliter biodiesel. Hal ini akan membutuhkan sekitar 720 ribu ton minyak nabati yang dihasilkan dari sedikitnya 200 ribu hektar perkebunan dan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 65 ribu orang di perkebunan dan lima ribu orang di pabrik.

Presiden AS, George W. Bush mengomparasikan data konsumsi energi yang digunakan AS pada tahun 1985 dan 2005, menunjukkan 75% minyak AS masih dihasilkan dari produksi didalam negeri, tetapi tahun 2005 hanya 35% saja yang bisa diproduksi didalam negeri. Selebihnya, AS mengimpor dari luar negeri, khususnya dari Negara-negara Timur Tengah. Hingga, ia memperbaiki kebijakan energi dengan memberdayakan sumber daya hayati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan bioetanol.

IV.Bioetanol – bahan bakar pengganti bensin

Bioetanal dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati (ubi kayu, jagung, sorgu biji, sagu), tanaman bergula (tebu, sorgu anis, bit) serta serat (jerami, tahi gergaji, apas tebu). Serta dari bahan-bahan bergula atau berpati lainnya nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, dan tumbuhan lainnya. Seluruh jenis bahan baku ini, dibandingan dengan kondisi harga minyak mentah, biaya produksinya kompetitif dengan bensin. Untuk tanaman berpati dan bergula, dengan produktifitas rata-rata bioetanol 5.000 liter/ha per-tahun, konsumsi seluruh bensin sebesar 16 juta kilo per-tahun (tahun 2005) dapat diproduksi dengan budidaya bahan baku seluas 3,2 juta hektar saja (1,7% dari luas daratan Indonesia). Jika dalam waktu dekat ini, bahan baku serat selulosa (jerami dan sejenisnya) dapat bersaing dengan pati-patian dan gula, jumlah lahan yang digunakan menjadi lebih sedikit.

Etanol diperoleh lewat proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Umumnya etanol diproduksi dengan cara sintesa etilen. Selain bioetanol dikenal pula gasohol yang merupakan campuran bioetanol dengan premium. Gasohol BE-10 adalah mengandung bioetanol 10 persen, sisanya premium. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alcohol (bioetanol). Etanol absolute memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional eiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada koposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah enggeser penggunaan Tetra Ethyk Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Kualitas etanol yang digunakan tergolong fuel grade etanol yang kadar etanolnya 99 persen. Etanol yang mengandung 35 persen oksigen dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Keuntungan dengan biaya produksi yang rendah, karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian yang tidak bernilai ekonomis berasal dari hasil pertanian budidaya yang dapat diambil dengan mudah. Dilihat dari proses produksinya juga relative sederhana dan murah. Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai oktannya lebih tinggi dari bensin, sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif, seperti etil tertiary butyl ether dan ether dan tetra ethyl lead. Kedua aditif tersebut telah dipilih menggantikan timbal pada bensin.

Bioetanol dapat langsung dicampur dengan bensin pada berbagai komposisi sehingga untuk meningkatkan efisiensi dan emisi gas buang yang lebih ramah lingkungan. Produksi etanol di Indonesia, berdasarkan data Depperindag tahun 2002, sekitar 180 juta liter dengan etanol berkadar 95-97 persen. Dari empat pabrik di Lampung, Jateng dan Jatim saja dihasilkan 174,5 liter per-tahun. Dari jumlah itu, 115 juta liter diekspor ke Jepang dan Filipina, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri asam asetat, selulosa, pengolahan rumput laut, minuman alcohol, cat, farmasi dan kosmetik. Selain, pabrik komersial yang umumnya menggunakan limbah pabrik gula atau tetes, Balai Besar Teknologi Pati, BPPT mengembangkan produksi bioetanol dari bahan baku ubi kayu. Pabrik percontohan yang dibangun di Lampung berkapasitas 8.000 liter per hari.

Selain ubi kayu, ada sumber karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku etanol, yaitu jagung, ubi jalar, sagu dan tebu. Namun, kelebihan ubi kayu dibandingkan dengan yang lain adalah dapat tumbuh di tanah yang kurang subur. Ubi kayu atau singkong memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Namun, kadar patinya berkisar 30 persen, masih lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen).

Di seluruh Indonesia terdapat 1,4 juta hektar perkebunan ubi kayu, yang terdapat di 10 propinsi. Lampung diantaranya menghasilkan ubi kayu 15 ton per hektar, sedangkan Jawa Timur 17-18 ton per hektar. Dengan asumsi 20 persen kebutuhan bensin bisa digantikan gasohol BE-10 hingga 3 juta kiloliter, maka setiap tahun akan diperlukan 2 juta ton ubi kayu, yang diproduksi dari lahan seluas 100.000 hektar.

Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar, sesungguhnya seusia dengan perkebangan industri otomotif. Mobil Ford generasi pertama (Type T) merupakan mobil yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar. Sejak bensin diproduksi dengan harga murah pasca PD II, bioetanol tersisih karena harganya tida cukup kompetitif. Krisis minyak pada tahun 1970-an mengangkat kembali bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di AS, Brazil dan beberapa Negara Asia dan Eropa.

Dampak positif dari produksi bioetanol dari tanaman dan penggunaannya pada mesin mobil akan menciptakan keseimbangan siklus karbondioksida, yang berarti akan mengurangi laju pemanasan global. Pembakaran bensin yang lebih sempurna ketika dicampur bioetanol 10% saja akan memperbaiki kualitas udara di kota-kota padat lalu lintas. Di Indonesia hal ini menjadi krusial, karena aditif timbale (TEL) masih digunakan di luar Jawa-Bali. Tidak murah menggantikan TEL dengan aditif HOC (High Octane Mogas Component) karena biaya produksinya sangat mahal.
Sisi negatifnya, produksi bioetanol secara besar-besaran berpotensi menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku berikut praktek-praktek pertanian yang merusak kualitas lahan. Ini bukan masalah baru dan harus diatasi bersama-sama agroindustri lainnya melalui penerapan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang terintegrasikan dengan system bio industri nir-limbah. Integrasi budidaya bahan baku dengan pabrik bioetanol dan peternakan sapi telah terbukti menurunkan biaya investasi, yang dapat menurunkan kapasitas minimal pabrik. Selain itu, penggunaan aneka raga bahan baku juga tidak akan banyak berpengaruh terhadap investasi awal karena prosesnya lebih sederhana dibandingkan dengan proses fermentasi, distilasi dan dehidrasi.11

V.
Sejarah menyarankan bahwa transisi energi utama – dari kayu ke batubara atau dari batubara ke minyak – memerlukan waktu untuk mengumpulkan momentum. Tetapi begitu resistensi politik dan ekonomi diatasi dan teknologi-teknologi baru telah terbukti, maka segala sesuatu dapat dibentangkan dengan cepat. Persoalannya adalah bagaimana sistem energi hari ini bakal digoyang pada penghujung abad, dan mungkin ini cara ekonomi energi yang berkelanjutan muncul di akhir decade. Jika demikian, revolusi energi mendatang akan memberi pengaruh mendalam atas cara manusia bekerja dan hidup, dan pada kesehatan lingkungan global tempat kita bergantung.12


Kutipan referensi :
Sekumpulan teknologi produksi energi baru yang akan memungkinkan sumber-sumber yang dapat diperbarui akan memperkuat ekonomi global. Revolusi energi mendatang akan memiliki pengaruh-pengaruh besar pada seluruh aspek pekerjaan dan kehidupan manusia, dan terhadap sehatnya lingkungan global dimana tempat kita hidup bergantung.
Setiap sudut teknologi merubah cara hidup kita, dan banyak muncul perubahan social dan politik. Dari Afrika Selatan sampai kebagian selatan Meksiko, rakyat diselusinan negara hiruk-pikuk menuntut hak-hak asasi dan demokrasi partisipatif dari sistem-sistem politik yang sangat otoriter, dan membongkar banyak perusahaan negara yang tidak efisien, yang telah mendominasi ekonomi mereka. Pada tahun 1989, rakyat Eropa Timur secara mendadak dan menyakinkan mencampakkan rezim-rezim komunis yang sudah empat decade berkuasa namun gagal membangun hak-hak politik mereka, kemakmuran ekonomi atau kesehatan lingkungan.

Menuliskan tentang Kritikan Max Weber terhadap Wilhelm Ostwald (seorang ilmuwan social, antropologi, tahun 1853-1932). Yang mana, Ostwald menggambarkan sejarah manusia terkait dengan besarnya ketersediaan energi dan pengembangan efisiensi yang dapat ditransformkan. Dia menulis buku, satu dari yang dibayangkannya dari evolusi modern tentang antropologi lingkungan, yang selanjutnya disadari oleh Leslie White. Ostwald mendeskripsikan sejarah ekonomi yang hampir sama yang mana seharusnya kita lihat, yang mana mengungkap hampir keseluruhan lanjutan dari Soddy, seorang anak muda berusia 25 tahun, yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Podolinsky, Sacher dan Geddes pada tahun 1880-an dan juga Pfaunder (Ostwald berhubungan dengannya) pada tahun 1902. Dan Ostwald mengambil sebagian dari pikiran mereka.

Gambaran sejarah ekonominya berdasar terhadap kritikan para energitist teori ekonomi, tetapi para energitist tidak bergantung pada segi pandangan kimia dan fisika yang menolak relevansi atom diantaranya sebelum tahapan pengujian untuk beberapa tahun setelah penemuan radioaktif. Soddy telah berspekulatif sejak tahun 1903 terhadap potensi energi atom dalam ekonomi. Dalam beberapa kasus, kita seharusnya tidak berurusan dengan paham energi Ostwald dalam ilmu pengetahuan alam tetapi dengan paham energi dalam sejarah manusia. Ostwald memiliki kemampuan untuk mempublikasikan karyanya. Dia menciptakan sebuah slogan – yang digambarkan sebagai Energetische Imperative, yang digunakan tidak hanya sebagai petunjuk moral tetapi juga sebuah prinsip interpretasi dari masalah sejarah manusia – Vergeude keine Energie, verwerte sie (waste no energy, value it). Satu yang dapat dilihat dari bagian teori yang berhubungan pemilihan alamiah dan penggunaan energi (dari Lotka ke Prigogine) ketika diterapkan tidak hanya untuk spesies yang berbeda, tapi untuk makhluk hidup, yang mungkin berhubung dengan analisis energi dan aliran social Darwin. Ostwald, bagi dirinya sendiri tidak membangun garis pemikiran ini – bagaimana masyarakat beradaptasi untuk ketersediaan aliran energi dan bagaimana masyarakat memodifikasinya – dan Ostwald tidak melakukan analisis empiris dari penggunaan energi dalam beberapa kehidupan masyarakat.

Max Weber (1864-1920) yang menulis review dari Ostwald tahun 1909 tentang Energetic Foundations of the Science of Culture dan mempublikasinya juga pada tahun 1909 (Weber, 1968) ia mengritik Ostwald untuk kegagalannya menyediakan data. Meskipun Weber tidak menquota dari beberapa pengarang lainnya (dari Podolinsky ke Pfoundler, peneliti yang mungkin kita lupakan) sosok yang telah melakukan kerja empiris terhadap aliran energi dalam masyarakat. Weber menjelaskan tesis utama Ostwald dan mempertahankan pembagian antara ilmu pengetahuan, yang hampir membuat hal kegembiraan salto mortale Ostwald kedalam sejarah ekonomi.

(diambil dari berbagai SDA)

Tidak ada komentar: