Jumat, 18 April 2008

1999-2008


Both side of covering news:


Get the right decision. The resistance choice of self adventure is very tightly to the future. Your decision today very influence for the character happens”, tomorrow. The adult made her right decision, to escape away from home because of her parent divorce. Nobody know, what will happen to that teenage in some years again. Her right decision envolved in her self, then made her ran away for every dealing the cases. And right now, she’s drug user addictive. Nobody know, our decision today would formed our attitude then result for what’ve been done. Some decision in self betrayal had been learned in great people. The scholar of Zarathruta thaught us about believing God with his self betrayal, not different with the innocence kid that tried to got a mean, “ why should we lived in our condition, why can’t choose for what’ve been really wanted “.
It’s acceptable, don’t ask why.

While we were decided to choose in what university we studied, then guess God’s planning: who’s our lecture guiding that’s professor degree-kah or. We even don’t know, yet until we’re doing. Student’s viewing about transition era, just book lesson. In outside, student protest, momentual in some regional area, scientist writing about economic regression of crisis, just task lesson. We even don’t know yet, til have enlightment. So why the harmfull place going to be cruelty place, we choose:
“ That’s a Qoda “.

We’re making a live, just be ware of sleeping mind for mean while. Step by step, empty goal reffered to the place near of village, folk tales told in that place there was north and south axis. With empty goal, the kids shout and yelling, ‘ I find that, I find that ‘, who’s know the such things ‘a light come to arm. Daily scene, day by day before, the priceless of purity is part of sacrifice things. Whether of that a light is called cakra” that make people gained their interests below me. Even don’t know why: since of that we’ve been created a monster from the cyber. Sleeping mind of beauty mapping. Taken from Harun Yahya e book, that’s a global freemansory?. Don’t know how to do, how to dealing with, how to make the right decision. Finally, got the horrible events.
“ That’s a Qodar between or …“.

After that, tear drops.

Their connecting offer us, the blind side of the world of the myths surround me. Created them: High Illusion of Imajinery fill in day by day, “ run away from the past and try build the brand session “. The blind side of not knowing trapped in pain choice, our village was became heart attacking (karma).

“ That’s a I don’t know “.

1 komentar:

Sudah Mundur - mengatakan...

Red-White CLoning :

Catatan Bantimurung:
PUISI-PUISI ANAK SENTANI


1.

Sungguh menggembirakan bahwa suatu kebetulan membuatku bertemu dengan
puisi-puisi di bawah ini. Kegembiraanku pertama-tama bukan hanya puitisitas
puisi-puisi yang di sini hanya sebagian kuangkat, tapi lebih-lebih lagi karena
ia ditulis oleh Luna Vidia, seorang puteri Sentani, Tanah Papua. Luna bukan
hanya menulis puisi tapi aktif berteater di Kota Makassar di mana ia bermukim
sampai sekarang. Kecuali itu, ia apun menulis cerpen, esai dengan tema-tema yang
luas, mulai dari sastra-budaya hingga ke soal-soal politik. Hanya saja, puteri
Sentani yang dilahirkan pada 27 Februari 1966 dan fasih berbahasa Inggris serta
bahasa Spanyol ini, masih malu-malu mempublikakasikan karya-karya. Oleh rasa
malu dan merasa karya-karyanya belum mencapai taraf yang ia inginkan maka ia
lebih membatasi karya-karyanya ke lingkup tertentu saja dan hanya mengirimkannya
ke www. panyingkul.com, website sastrawan-sastrawan Makassar, asuhan Lily
Yulianti dan Aan Mansyur. Aan Mansyur sekarang sedang
berkeliling Jawa untuk memperkenalkan "Sastra Dari Makassar".


Adanya puisi-puisi Luna Vidia ini pun, kukira juga menunjukkan dan
membuktikan bahwa sastra berbahasa Indonesia itu bukan hanya terdapat di Jawa.
Sehingga menjadi sangat tidak adil jika eksistensi yang memang eksis ini tidak
dilihat dengan sebelah mata pun entah sadar atau tidak atau oleh kepongahan
standarisasi dan monopoli nilai yang sentralistis.


Penemuan puisi-puisi dan karya-karya tulis Luna Vidia, yang berdarah Ambon,
lahir di Papua dari keluarga seorang guru pada masa Soekarno ini dan sekarang
tinggal di Makassar, bagiku menjadi kian menarik, kalau dilihat dari segi
konseptual tentang "sastra-seni kepulauan" sebagai pengejawantahan rangkaian
nilai republiken dan berkeindonesiaan. Jika dirunungi, sebenarnya perjalanan dan
kisah Luna Vidia sendiri bisa dikatakan melambangkan nilai-nilai ini sendiri.
Berdarah Ambon, lahir di Sentani dan kemudian tinggal di Tanah Bugis. Dan dengan
bahasa-bahasa asing yang ia kuasai, lingkup cakrawala Luna makin menjadi luas.
Makin merelatifkan arti etnik dan bangsa dalam pandangan yang hakiki dan
perspektif manusiawi serta kemanusiaan sebagaimana pandangan manusia Dayak
tentang hidup-mati yang dijabarkan dalam ungkapan "rengan tingang nyanak jata"
[anak enggang, putera-puteri naga]. Pandangan yang kemudian dirumuskan oleh Paul
Ricoeur, filosof terkemuka Perancis dalam
kata-kata: "kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu tunggal", dan "budaya
lokal merupakan bahasa berdialog dengan budaya dunia". Dalam artian inilah,
kukira, budaya lokal berarti berdiri di atas akar masing-masing. Sehingga jika
kita kehilangan akar, maka ibarat pohon maka tumbuhnya tidak akan kekar. Mudah
tumbang diterpa angin apalagi jika badai berhembus. Konsep sastra-seni kepulauan
jadinya bukanlah konsep mengurung diri, tapi mengembangkan diri secara berakar.
Tanpa akar , bukan hanya kita akan goyah, tapi salah-salah bisa berkembang jadi
pak turut , epigon. Epigon tetap epigon. Berdiri di atas akar sendiri, kukira,
sangat jauh bedanya dari tutup pintuisme dan buan pula universalisme tanpa
warna. Bahkan aku melihatnya bahwa pada budaya lokal itu terdapat nilai
universal manusiawi. Terdapat sifat materialis [dalam artian filsfat] dan
dialektis. Ia merupakan kesimpulan dari pengalaman sebagaimana yang kita
dapatkan pada pantun gurindam, seloka, sansana dan
lain-lain bentuk sastra lokal. Barangkali kita saja sekarang yang tidak
mengindahkannya karena terkelabui oleh yang disebut modern.


Luna Vidia, entah ia sadari atau tidak, tapi menghadapi dunia dengan berdiri
di atas akar budaya lokal ini. Keadaan yang pernah kurumuskan waktu bekerja di
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, dalam kata-kata "Berdiri di kampung halaman
memandang tanahair, merangkul bumi".


Dari sudut pandang inilah aku merasa sangat gembira mendapatkan kumpulan
tulisan Luna Vidia, yang di sini kusiarkan.


Terlampir bisa didapat beberapa puisi Luna Vidia yang kuangkat kali ini dan
beberapa judul artikelnya.


Paris, Musim Bunga 2008.
----------------------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.

LAMPIRAN:
PUISI-PUISI LUNA VIDIA:

lunes 17 de marzo de 2008 jala koyak
pada jala yang koyak
mataku
berurai benang waktu
menjahit masa depan jadi kenangan

March 2008




viernes 14 de marzo de 2008

Dua Sajak untuk Dua Kawan
: ami
di pematang, di antara batang kelapa dan pinang burung terbang ,

kepiting bermain dengan bayang-bayang,

biren dan remis yang di gali untuk kesenangan akhir pekan

dalam kanal-kanal surut di sepanjang purnama terbentang
Di antara kepak sayap, anyir tambak
kubuka telapak tangan diam-diam

di bawah terik matahari, lalu menutup cengkram kuat sekali di setiap magrib,

berharap tanganmu ada di sana, menikmati segala ngilu dari kisah tentang masa
lalu
kisah pinang patah yang perih

kisah inong aceh.

bersama. Ah!




:matsui-san

kukirim puisi ke negeri musim dingin,
angin hembus, di atas hijau sawah, di antara batang kelapa dan pinang
Begini:
aku menitip matahari aceh,

yang mengeringkan punggung perempuan di sawah,

punggung yang tak patah oleh rasa takut

pada bayang hitam yang menyelinap di antara pepohonan kelapa dan pinang.



apa kabar yang di bawa musim dingin?

mungkin seperti kerja keras telah mendidihkan periuk,

puisi ini cukup untuk mendidihkan sup

sebelum terhidang di meja makan.
kupikir, di musim seperti ini

di luar salju terus jatuh,
seperti buah pinang dan kelapa jatuh
di pangkuan perempuan aceh

yang menimangnya jadi hidup

sehari, sudah cukup.


miércoles 12 de marzo de 2008 penjelasan panjang untuk "hi" yang pendek

meski tak pernah saling mengucapkan selamat jalan
seperti laut dan pantai,
kita akan selalu berdampingan
kita akan saling melupakan




3/12/2008



martes 11 de marzo de 2008
Kapan telah memanggil belalang pelahap
ke dalam kebun harap
Kenapa mengundang angin panas dari tenggara
Mengobarkan sengsara
di antara tunas dan kelopak. Juga buah muda.

Mereka pasti tak bisa membaca tanda penawaran
yang kuletakkan di jalan depan:

saya mencintaimu. hanya itu.

March 2008





Mencapai Bulan
Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan
Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan
Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang
sulur tanpa penopang
telah mencapai bulan
tanpa warna. Atau hitam?

March 2008


viernes 7 de marzo de 2008
Manggigil*)



Batu di ombak itu,
berdiri di pantai tanpa angin,
memaku mata pada laut yang tak mengalun
sambil mengunyah waktu
dan pada lembah-lembah hari
Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan
jadi helai angin


Batu ombak itu,
mata bermuara tanya,
Kenapa pilu riang bermain gelombang
Kenapa cinta tak hendak pulang
Ketika laut tak mengantar apa-apa,
Juga angin tak memuat berita?

Batu di ombak itu
adalah bongkah duka
lupa pada namanya,
yang tanya di mata : " Kenapa kelu?"
Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting
Berendam tenang di sekujur lukanya

pantai berangin, laut mengalun
batu ombak itu
telah menjelma aku
Cadas. Diam. Penuh binatang karang.
Di kedalaman,
adalah ketenangan yang ganjil.
Sedih yang menggigil

*Manggigil = menggigil (Maluku)

March, 2008





miércoles 5 de marzo de 2008 Yang Tumbuh, Aneh Sungguh
Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu
Di bawah palem baru melepas pelepahnya
Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi.
Selalu menyapa hari seperti ini,
gerimis yang menusukan sepi

Asa lepas seperti hangat tubuh pergi
dalam dingin. Lalu bersendiri
seperti pelepah
kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih
Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim.
Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki.
Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum
Rindu yang menggigil dengan mata berdarah
Di dalam hujan,
Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.

Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu,
Selalu menyapa sepi seperti ini,
Gerimis mencengkram hati kusut
menyisirnya dengan kuku sepi
Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah
Terkuak pasrah
pada sayat sepi dalam genggam gerimis
menatap tak lepas
Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.

Lama setelah itu, orang lalu
melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku,
Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta"







lunes 3 de marzo de 2008 Embun Bunting Tadi Pagi
: rusle


seperti mimpi, semua terjadi, pada hari ketika terbangun

dan di pucuk daun dengan embun bunting yang menggantung,

tertulis pesan dari Sang Kehidupan - pada peluh dan risau seorang lelaki,
telah ditimbang kebahagiaan, jauh-jauh hari.

Jadi selesaikan sekarang, hari ini. Hanya hari ini, esok memiliki kesusahannya
sendiri.


Ichthus





berenang di laut luka
matahari
ombak
karang
sengat segala laut
mengupasku
hingga tulang

aku menjelma ikan

2007





lunes 17 de marzo de 2008 jala koyak
pada jala yang koyak
mataku
berurai benang waktu
menjahit masa depan jadi kenangan

March 2008


Labels: A Poem, My Galery





14 de marzo de 2008 Dua Sajak untuk Dua Kawan
: ami
di pematang, di antara batang kelapa dan pinang burung terbang ,

kepiting bermain dengan bayang-bayang,

biren dan remis yang di gali untuk kesenangan akhir pekan

dalam kanal-kanal surut di sepanjang purnama terbentang
Di antara kepak sayap, anyir tambak
kubuka telapak tangan diam-diam

di bawah terik matahari, lalu menutup cengkram kuat sekali di setiap magrib,

berharap tanganmu ada di sana, menikmati segala ngilu dari kisah tentang masa
lalu
kisah pinang patah yang perih

kisah inong aceh.

bersama. Ah!



:matsui-san

kukirim puisi ke negeri musim dingin,
angin hembus, di atas hijau sawah, di antara batang kelapa dan pinang
Begini:
aku menitip matahari aceh,

yang mengeringkan punggung perempuan di sawah,

punggung yang tak patah oleh rasa takut

pada bayang hitam yang menyelinap di antara pepohonan kelapa dan pinang.


apa kabar yang di bawa musim dingin?

mungkin seperti kerja keras telah mendidihkan periuk,

puisi ini cukup untuk mendidihkan sup

sebelum terhidang di meja makan.
kupikir, di musim seperti ini

di luar salju terus jatuh,
seperti buah pinang dan kelapa jatuh
di pangkuan perempuan aceh

yang menimangnya jadi hidup

sehari, sudah cukup.






3/14/2008



Martes 15 de enero de 2008 Asoka Di Tokyo
di meja (ta) Ly ,
ada rangkaian asoka. tiap batang untuk tiap kata: merah tua, kuning, dan merah
muda. Kuambil ketika mereka terangguk angguk dalam hujan.. hanya itu yang sedang
ada di halamanku
Seratus duabelas bunga untuk menemanimu.
titik air yang menggantung di ujung daunnya, akankah beku di dingin tokyomu?

january 08







Nyanyian Rindu
dinyanyikan ketika sedang berkemas:

sebentar lagi, akan kita telusuri
riuh rex atau pasar aceh
sambil menyuapkan mie kepiting ke dalam diam,
lalu esoknya
potongan kebaikan akan kita jatuhkan
sambil tertawa ke dalam kopi jasa ayah,
dan sambil menghirup sepi,
kita lihat pintu-pintu menutup menjelang magrib.
Di baliknya,
di sudut
di antara riuh adzan, sambil bertahan pada tawa,
mata kita sengaja tergenang kenangan
sebentar lagi,
kita mungkin akan melarung rindu
dalam perahu-perahu daun
ke cinta yang jauh
dari gapang atau ibo pada akhir minggu.

january 2008










Ichthus berenang di laut luka
matahari
ombak
karang
sengat segala laut
mengupasku
hingga tulang

aku menjelma ikan

2007














My Page
I'm on a journey. A journey of being me. Some paths would remain unseen, as
there is the unseen life of me.The unseen pages. The pages of secret landscapes
of imagination and spirit within me, where I addressed my grief, my questions of
life. And hope somehow from its richness I will cultivate wonder: a wealth of
experience.







Mostrando entradas con la etiqueta A Poem. Mostrar todas las
entradas






Minggu, 27-01-2008
Kaluma
(Obituari untuk Soeharto dari Seorang Rakyat)
:: Luna Vidya :: (13 Komentar)
Jumat, 16-11-2007
Menumpang “Mobil Dinas” ke Raja Ampat
:: Luna Vidya :: (4 Komentar)
Selasa, 23-10-2007
Menyaksikan Kampanye Pilkada Sulsel:
Dari yang Menunggu "Janji Suci" Hingga Kaos Gratis
:: Luna Vidya :: (6 Komentar)
Sabtu, 15-09-2007
Ada yang Berpuasa di Rumah Kami…
:: Luna Vidya :: (17 Komentar)
Jumat, 17-08-2007
Merenungkan Kemerdekaan di Lapangan Merdeka Ambon
:: Luna Vidya :: (9 Komentar)
Senin, 06-08-2007
Teater
Mengembalikan Tubuh pada Kata-katanya Sendiri
:: Luna Vidya :: (3 Komentar)
Sabtu, 28-04-2007
Dari "Ambon Kart" Hingga "Balanda Itang"
:: Luna Vidya :: (12 Komentar)
Selasa, 10-04-2007
Sepotong Ambon di Tanah Muna
:: Luna Vidya :: (11 Komentar)
Minggu, 25-02-2007
Gerabah, dari Takalar Turun ke Kota
:: Luna Vidya :: (7 Komentar)
Rabu, 31-01-2007
Panyiko’ Bibi’, Para Perempuan Pengikat Rumput Laut
:: Luna Vidya :: (6 Komentar)

2008 April 13 06:53

freeusedrug berkata...

Blue_Cloning:

Catatan Bantimurung

SEJARAH LOKAL

Sejak lama aku menggarisbawahi arti pentingnya penulisan sejarah lokal untuk
kepentingan penulisan sejarah nasional yang tidak Jawa-sentris, seperti yang
pernah kudapatkan pada masa SMP dan SMA di Yogyakarta dulu. Demi kepentingan
angka ulangan dan lulus ujian, apa yang diajarkan mau tidak mau kupelajari walau
pun dalam hati, aku bertanya-tanya: Mengapa, yang terjadi di Kalimantan, pulau
kelahiranku tak sehitam kuku disentuh oleh yang disebut sejarah Indonesia.
Apakah Indonesia itu hanya Jawa?Apakah Kalimantan dan penduduknya tidak
mempunyai sejarah? Apakah arti dari keadaan penulisan dan pengajaran sejarah
seperti ini?


Aku jadi teringat akan cerita ayahku almarhum yang mengatakan bahwa pada
zamannya anak negeri yang kemudian bernama orang Indonesia, lebih mengerti
kanal-kanal di Belanda daripada sungai-sungai di negeri yang kemudian bernama
Indonesia. Dengan ingatan demikian, sebagai anak luar Jawa, aku jadi
tersenyam-senyum melihat pada angkatanku, aku harus lebih mengenal sejarah
raja-raja Jawa atas nama sejarah Indonesia, daripada sejarah Indonesia dalam
arti mencakup sejarah seluruh pulau dan etnik-etniknya. Konsekwensi dari konsep
NKRI yang sentralistiskah? Konsekwensi dari Jawa sebagai etnik mayoritaskah?
Resiko dari Jawa sebagai pulau di mana ibukota RI terdapatkah?


Nurani remajaku terusik oleh isi pengajaran sejarah yang disebut sebagai ilmu
sejarah. Sejarah Indonesia. Padahal aku ingat benar dan lihat dengan mata
kepala sendiri, bahwa berkibarnya Merah Putih di Kalimantan, terutama Kalimantan
Tengah, pertama-tama berkat perjuangan orang lokal, bersandar dan didukung oleh
rakyat lokal. Orang Jawa bisa dihitung dengan jari dalam usaha ini di Kalteng.
Republik Indonesia didukung dan diperjuangkan bergadaikan kepala, karena ia
oleh rakyat lokal dipandang sebagai satu harapan, bukan merupakan bentuk
perampokan, pengurasan dan penjajahan baru oleh bangsa sendiri atas bangsa
sendiri bernama NKRI sentralistik. Setelah RI berdiri, hasil daerah pun
dipusatkan di Jawa sehingga pembangunan pun terpusat di Jawa. Karena itu secara
spontan, ketika meletus pemberontakan PRRI/Permesta, remaja Yogyaku menyambut
pemberontakan itu dengan rasa gembira walaupun poswesel dan surat-surat
terputus. Hubungan terputus dengan kapung, karena sarana
pengangungkutan dipusatkan untuk menumpas pemberontakan. Dalam keadaan
demikian, untuk mendapatkan surat, aku menulis kartupos sendiri dan
mengalamatkannya ke diriku sendiri. Dengan bayangan bahwa aku sedang mendapat
surat dari kampung. Untuk mendapatkan uang sakut, koran-koran yang menjadi
dokumentasiku, kujual. Apa saja yang bisa dijual, dijual agar dapat sesuatu guna
mengisi perut yang tak mau kompromi. Celakanya, setiap terjadi kegiatan yang
menunjukkan ketidakpuasan pada buah politik Jakarta, langsung dipasang topi
"separatisme" sedang perampokan atau pembagian hasil daerah secara tidak adil
dikatakan sebagai sah demi NKRI. Kukira founding fathers RI tidak menjerat NKRI
dalam artian sempit yang sentralistis dan menjelma jadi penjajah bangsa sendiri
yang kemudian membangun pangeran dan vazal-vazalnyanatas nama gubernur dan
bupati sampai ^pada camat.


Jika benar mau menyelamatkan RI sebagai satu kesatuan bangsa dan negeri,
kiranya kemalasan berpikir dan menempuh jalan pintas serta konsep RI seperti ini
selayaknya ditinjau ulang. NKRI sentralistis adalah jalan petaka dan bencana.
Tapi kalau mau melaksanakan otonomi daerah, kiranya otonomi yang tanggap bukan
otonomi ular yang pegang ekor lepas kepala. Kepala yang dibiarkan leluasa masih
bisa menyemburkan bisa. Perlu pula dicegah agar otonomi menyuburkan
kerajaan-kerajaan kecil. Untuk ini kukira masyarakat adat sebagai salah satu
sarana pengawasan massa perlu diperkuat sehingga kemungkinan kesewenangan
penyelenggara negara bisa diminimalkan.


Menuding keresahan daerah sebagai pengancam eksistensi RI, tanpa mawas diri
dari Jakarta adalah berbahaya. Kukira perlu ada pola pikir dan mentalitas baru,
terutama dari mayoritas dan penyelenggara negara. Termasuk dalam penulisan dan
pengajaran sejarah. Bukanlah isapan jempol bahwa jauh sebelum RI berdiri,
daerah-daerah sudah bisa mengurus diri masing-masing dengan tatanan nilai yang
tidak etnosentrisme seperti yang tertuang di sastra lisan atau tulis mereka dan
konsep-konsep filosofis misalnya -- malangnya tidak terlalu dikenal oleh
Jakarta dan mayoritas yang mabuk "modernisasi". Seperti dengan ikutnya
daerah-daerah, termasuk dari Kalteng dalam menelorkan Sumpah Pemuda 1928. Maka
stop kepongahan mayoritas dan penafsiran sempit atau RI dalam berbagai bidang,
termasuk sejarah. Republik dan Indonesia adalah rangkaian nilai perekat semua
etnik yang semuanya berjasa menegakkan RI. RI adalah nama bagi mimpi tentang
hari ini dan esok bersama, untuk tidak menjadi bangsa
"koeli" di antara "koeli" baik raga dan jiwa. Makin banyaknya jumlah pemegang
gelar doktor merupakan tanda kita makin bebas dari posisi "koeli". Gelar doktor
bukan jaminan bahwa diri sudah jadi anak manusia merdeka atau menjadi orang jika
menggunakan istilah Prof. Djojodigoeno alm. [dari Universitas Gadjah Mada].
Seperti juga dikatakan oleh seorang sarjana Perancis, banyak akademisi Perancis
atas nama netralitas ilmiah tapi lupa pada komitmen manusiawi. Apalagi di masa
globalisasi sebagai tingkat baru perkembangan kapitalisme -- sistem yang oleh Lu
Sin pengarang Tiongkok disebut sebagai sistem manusia makan manusia. Sarjana
Perancis ini dalam wawancaranya dengan Harian Katolik "La Croix" , netralitas
ilmiah tanpa komitmen manusiawi tidai beda dengan sterilitas jiwa, pikir dan
sikap dari para pencari selamat diri di atas genangan darah dan airmata manusia.
Belum lagi jika kita ingat pertanyaan Jan Myrdal tentang relatifnya
obyektivitas.


Pulang dari bermain di antara air terjun dan ribuan kupu-kupu Bantimurung
bersama Rara, anak perempuanku yang sangat ngintil padaku, Ken Prita, ibunya
merasa gilirannya tiba mengurus Rara. Aku menggunakan waktu untuk membuka
laptop. Di layar laptop kudapatkan pesan dari Andi, seorang teman Bugisku yang
setia akan persahabatan kami --walau pada suatu periode latar pemikiran kami
pernah berbeda. Waktu kemudian mempertemukan kami di sebuah balai mimpi yang
sama. Dalam surat listriknya, aku dapatkan kalimat Andi yang inspiratif menjawab
pendapatku tentang Kahar Muzakar --tokoh yang kuhormati.


Andi antara lain berkomentar: "Penulisan sejarah di tanah air kita ini memang
timpang padahal andil untuk kemerdekaan sama". Komentar Andi yang kusukai karena
kejujuran, keterus-terangan, argumentatif serta mimpi-mimpi RI-nya ini,
mengingatkan aku akan dialogku dengan Tiyel Djelau, teman akrab Tjilik Riwut,
kapten TNI, orang pertama Djawatan Penerangan Kalteng periode kegubernuran
Tjilik Riwut mengenai sejarah lokal ini. Dalampercakapan santai kami di suatu
petang, Tiyel mengatakan bahwa Departemen Penerangan Pusat pada masa
pemerintahan Soekarno, pernah menantangnya: "Kalian orang daerah jika mau
menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia harus menulis sejarah lokal". Artinya
masalah sejarah lokal ini bukan baru masalah baru. Tapi sudah pernah jadi soal
di generasi pendahulu. Yang kumaksudkan dengan sejarah lokal, termasuk sejarah
semua etnik yang terdapat di wilayah RI sekarang. Semua, tanpa kecuali.


Dalam posisi demikian Tiyel Djelau merasa malu karena ketiadaan sumber tenaga
manusia untuk melakukan penulisan sejarah lokal maka tantangan Menteri
Penerangan hanya tercatat buram karena tak semua orang tahu. Waktu jadi guru
kecil di Palangka Raya, aku selalu menanyai pendengar-pendengarku pengetahuan
mereka akan sejarah kampung mereka. Ternyata semua menjawab dengan tidak tahu.
Apa yang dikatakan oleh Menteri Penerangan Soekarno yang berdialog dan menantang
Tiyel Djelau pada waktu itu, secara konsepsional, kukira ia sangat hakiki. Jika
sekarang tantangan ini seperti tulisan kusam di kertas merang, intinya tetap,
bahkan kian tantangan ini sekarang kian mencuat mendesaknya dalam situasi bahwa
" Penulisan sejarah di tanah air kita ini memang timpang padahal andil untuk
kemerdekaan sama" seperti canang Andi sahabatku dari pulau Karaeng Galesong,
embrio sejati keindonesiaan yang republiken. Indonesia dan Republik agaknya
selain sebagai rangkaian nilai , juga merupakan
rangkaian tantangan belum terjawab.


Penulisan dan penulisan sejarah, termasuk memoir dari para pelaku sejarah
walau pun memoir begini sering cenderung nasrsistik menjadi penting. Apabila
ada kecenderungan narsistik dan menjadikan diri sebagai sentral peristiwa,
kukira hal ini wajar secara psikhologis sehingga memoir mereka tetap berharga
sebagai bahan mentah dan acuan. Karena itu setelah melihat tentang catatan
tertulis mengenai Pembrontakan Nasioanal pertama melawan Belanda 11 November
1926, yang tidak meninggalkan catatan berarti dari para pelakunya, aku selalu
menganjurkan dan mendorong serta kongkret membantu teman-teman tua untuk
menuliskan pengalaman mereka. Makin jujur makin baik. Sebab jika tidak jujur
dan apalagi menjadikan diri sebagai sentral penentu, akan menambah jumlah beban
di pundak mereka. Sejarah tidak memerlukan dusta. Bangsa, negeri dan RI pun
tidak memerlukan dusta. Komitmen manusiawi pada dasarnya tidak memerlukan
narsisme. Tapi manusia, siapa pun nama dan posisinya memerlukan
pengakuan. Ingin diaku eksistensinya. Ingin nampak cemerlang. Karena itu
komitmen manusiawi total, bukan hal sederhana di hadapan hasrat-hasrat narsistik
yang menyulitkan kita untuk dewasa dan jujur pada diri sendiri. Narsisme sering
jadi sarang manipulasi dan ketidak jujuran. Sanggup memutihkan yang hitam,
menghitamkan yang putih. Takut dirinya dilupakan --bentuk kekanakan psikhologis,
sekali pun kita sudah jadi kakek atau nenek. Usia bukan pengukur kedewasaan
berpikir. Narsisme sering merupakan ungakapan kesetiaan pada nilai
patrimondialisme yang memburamkan label-label kiri dan revolusioner sekali pun.
Apalagi jika kiri dan revolusioner hanya sebagai label kecap nomor satu -- yang
banyak menjangkiti pejuang-pejuang kiri di mana pun, lebih-lebih di Indonesia.
Kiri di Indonesia sering kucurigai sebagai label kecap nomor satu belaka. Tong
kosong besar bunyinya. Sejenis sertifikat dalam kegiatan tawar-menawar.
Bargaining power for getting position. Sudahkah lahir dan
ada orang kiri yang sungguh di negeri kita, sering menjadi pertanyaan yang
muncul di benakkku ketika membaca sejarah sampai hari ini.


Sejarawan pun tidak luput dari penyakit ini. Bagaimana bisa mengharapkan ada
penulis sejarah Indonesia jika dibayangi oleh narsisme dalam berbagai ujud dan
menghitung kepentingan kanan kiri serta diri sendiri sambil berucap netralitas
ilmiah? Karenanya aku tak gampang mengagumi gelar akademi dan yang disebut
jabatan akademi. Kekerdikan terdapat di mana-mana. Aku hanya khawatir bahwa
Indonesia bangsa besar dan berpontensial masih didominasi kekerdilan. Juga di
bidang sejarah. Berapa banyak orang di negeri kita yang sanggup mengatakan
kebenaran sedang mendengarkan kebenaran saja sudah gemetar dan enggan? Bidang
sejarah merupakan sebuah kancah pergulatan sengit berbagai kepentingan. Terutama
kepentingan politik yang kemudian menjalar ke bidang-bidang lain. Sedang
kekuasaan yudikatif merupakan bastion penghabisan satu kekuasaan.


Sejarah Indonesia, juga sejarah lokal patut dituliskan. Membaca sejarah
seadanya, barangkali akan melebihi tenaga menjadi aspirin sederhana mengatasi
sakit kepala mendesak anak bangsa dan bangsa yang memang sedang masuk angin
hingga menjadi negeri di mana bersarang sekian "keanehan" sehingga maka tampil
sering sebagai negeri tampakul dan Pang Palui, jika menggunakan istilah Banjar
dan Dayak. Berapa lama angkatan anak bangsa dan anak negeri yang tumbuh
susul-menyusul dibiarkan sebagai angkatan tanpa sejarah? Tak acuh pada sejarah?
Dengan pertanyaan ini, maka saban malam, sebagai kisah pengantar tidur, kepada
Rara yang selalu berbaring di sampingku, kadang di pangkuan dan dadaku,
kututurkan kisah-kisah sejarah secara sederhana. Kubayangkan saat berkisah
kepadanya, aku sedang menitipkan harapan dan cinta bangsa serta negeriku seperti
yang juga dengan tegas selalu katakan: "Aku orang Indonesia, Pah! Bukan orang
Dayak!" Aku membayangkan, jika angkatan Rara ini kelak besar
dengan kesadaran sejarah dan pengkhayatan nilai Republik dan berkindonesiaan,
benarkah saat itu bangsa dan negeri ini tidak lagi menjadi bangsa "koeli
diantara koeli"? Inilah mimpiku! "I have a dream!" , ujar Martin Luther King Jr,
suara yang menggaung tak terbungkamkan hingga sekarang. Republik dan Indonesia
adalah mimpiku juga. Akankah RI menjadi suara yang lenyap di ombak samudera
ditelan gemuruh badai kemelut demi kemelut?Aku menatap wajah anakku dan mata
kalian. Memandang Bantimurung, kelak atau esok milik siapa. Bagaimana ujudnya.
Akankah seperti sungai Katingan dan Hampalitku yang rusak? ****


Paris, Maret 2008
-------------------------
JJ.Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.