Aksi Damai di Depan Istana Merdeka, 15 Feb. 2007.
Ungkap Kasus Pelanggaran HAM, sekarang juga!
Pengakuan hak-hak asasi manusia (HAM) oleh UUD’45 ternyata telah dinodai oleh sederetan tindakan pelanggaran HAM, antara lain: Peristiwa Pembantaian ‘65, Peristiwa Tanjung Priok ‘84,Peristiwa Lampung ‘89, Haur Koneng, Nipah, Peristiwa 27 Juli ’96, Penembakan Misterius,Penculikan Aktivis Pro-Demokrasi ’97-‘98, Peristiwa Trisakti ’98, Peristiwa Pembunuhan Udin,Pembunuhan Marsinah, Peristiwa Kerusuhan Mei ’98, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I,Peristiwa Semanggi II, dan lain-lainnya, tak terkecuali Peristiwa Pembunuhan Aktivis HAM Munir.
Dari berbagai kasus itu dapat dicatat upaya-upaya impunitas: Pertama, kasus yang hingga kini belum diketahui pelakunya, meskipun ada indikasi pelakunya adalah pihak kekuasaan atau keamanan, tapi dengan berbagai cara dilakukan untuk menggelapkan si pelaku (misalnya pada kasus Marsinah dan Udin); Kedua, meskipun pelakunya sudah diketahui dan diduga keras adalah aparat keamanan, hingga kini pelakunya tidak pernah diajukan ke pengadilan (misalnya pada kasus 27 Juli’96-penyerbuan kantor DPP-PDI); dan Ketiga, meskipun pihak keamanan mengakui keterlibatannya dalam suatu kasus tertentu, bentuk pengakuan itu didekonstruksi menjadi sekadar perbuatan oknum
saja atau kualifikasi kesalahannya hanya menjadi kesalahan prosedural, sehingga hukuman yang dijatuhkan menjadi sangat ringan dan hanya kepada pelaku di lapangan (Misalnya kasus Trisakti).
Sejumlah UU tentang HAM (UU No. 5 Tahun 1998, UU No. 39 Th. 1999, UU No. 26
Tahun 2000) telah dijadikan obyek kamuflase oleh pemerintah Indonesia ke dunia luar bahwa telah memperhatikan penegakan HAM. Tetapi sebenarnya, UU itu hanyalah sekadar “koleksi perundang-undangan.” Sebab, dalam prakteknya sulit (baca: dipersulit) untuk diterapkan dalam menyelesaikan kasus. Sebagaimana nuansa yang terungkap dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung baru-baru ini (8 Februari 2007), terkait dengan kasus Penculikan, Kerusuhan Mei’98 dan Trisakti-Semanggi: DPR tercatat telah mempolitisir penyelesaian kasus melalui rekomendasi; Sementara itu Kejaksaan Agung telah aktif mencari kelemahan/kekurangan dalam UU guna dimanfaatkan/dijadikan alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Maka lengkaplah sudah rekayasa-rekayasa untuk melanggengkan impunitas melalui upaya mengaburkan sekaligus menguburkan
kasus-kasus pelanggaran HAM.
Yang paling celaka adalah, bilamana rekayasa-rekayasa itu dilandasi oleh penyebab riil berupa “ketakutan untuk bertindak” oleh pihak yang berwenang (meskipun hal ini selalu tidak diakuinya). Bila ini yang terjadi, maka sungguh konyollah pengelolaan negeri ini karena hanya berkutat di seputar “kebohongan”: bohong terhadap korban, bohong terhadap publik/masyarakat,dan bohong terhadap dunia internasional. Di tengah berkembangnya kebohongan tersebut, kami korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berharap semoga Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden tidak terlibat, tidak dilibatkan, dan tidak melibatkan diri dalam skenario kebohongan
tersebut, dan oleh karenanya mau bertindak untuk:
1.Memberi penguatan kepada Kejaksaan Agung guna menumbuhkan keberanian mengungkap
kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
2.Mewujudkan kerjasama dengan DPR membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu.
3.Mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara tuntas dan adil dalam
perspektif kepentingan korban dan keluarga korban, bukan kepentingan pelaku.
Aksi Diam Hitam Kamisan
Delapan tahun Reformasi bergulir, delapan tahun pula kasus pelanggaran
HAM kian mengelam. Penguasa terus berganti, sampai dengan kini Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat tak satupun pelanggaran berat HAM
menemui titik terang. Peristiwa 65, Talangsari, Tanjungpriok, 27 Juli 1996,
Penculikan, Trisakti, Mei 1998, Semanggi I, Semanggi II tak tersentuh
hukum dan keadilan. dan pamungkasnya adalah pembunuhan Munir,
seorang yang selama ini bergiat mengadvokasi kasus-kasus tersebut.
Semunya menggelap karena digelapkan, Negara terus menggelapkan
pelakunya, menggelapkan penanggungjawabnya, bahkan Negara menjadi
pelaku impunitas terhadap kasus tersebut, dengan terus mengabaikan
penuntasannya. Kemauan dan keberanian SBY mestinya mampu menjawab
semua soal di atas, sebab peran kunci saat ini ada pada genggamanya.
Delapan tahun para korban dan keluarga korban, dengan segala upaya dan
daya telah mengartikulasikan segala asa, rasa, dan tuntutan pada setiap
mereka yang berkuasa. Namun kebebalan Negara tak jua tersembuhkan.
Situasi tersebut, menggerakan korban dan keluarga korban untuk
melakukan aksi diam setiap hari kamis, selama satu jam, pukul 16.00-17.00
Wib, di pusat simbol kekuasaan negeri ini “Istana Merdeka” bersama
busana kedukaan dan kekelaman “hitam-hitam”, bersama payung hitam dan
kenangan kedukaan “foto-foto korban”. melakukan aksi diam, sebagai
pertanda habisnya sudah segala artikulasi korban dan keluarga korban
terhadap bebalnya penguasa negeri ini terhadap penuntasan kasus-kasus
pelanggaran HAM. Dengan sebuah pengharapan, bahwa Negara akan
memberikan pertanggungjawaban terhadap tragedi pelanggaran HAM berat
yang terjadi di Indonesia. Dan aksi ini merupakan bagian dari gerakan
moral yang ingin menyebarkan tentang pentinganya arti kemanusiaan
kepada masyrakat luas.
Aksi ini sudah berjalan sebanyak tiga kali, sepanjang kamis; 18/1/07, 25/1/07. 01/2/07. aksi ini selain diikuti korban dan keluarga korban, juga terlibat aktif di dalamnya Rieke “Oneng” diahpitaloka. Dan sekali waktu, Sony Tulung pun ikut terlibat. Aksi ini memang dimaksudkan untuk
merangkul dan mengajak siapapun masyarakat yang peduli, memiliki
solidaritas dan keinginan untuk bersama bergabung menyuarakan
penegakan HAM di Indonesia.
Gerakan tersebut, terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Argetina, yang ana-
anaknyaknya dihilangkan secara paksa oleh rezim militer Argentina, dan
kemudian dikenal dengan nama “Mother Plaza De Mayo”. Mereka
melakukan aksi setiap hari kamis di depan plaza De Mayo, Menuntut
dikembalikannya anak-anak mereka. Sampai ahirnya aksi “plaza de mayo”
melegenda di seluruh dunia. Sebagai simbol perlawanan ibu-ibu yang terus
konsisten.
Aspirasi "Arwah Korban": Mereka-mereka adalah korban tragedi wtc sept 2001-tujuh tahun sudah kasusnya- namun sampai sekarang belum terungkap, apakah Afghanistan pelakunya?. Namun, di beberapa bagian masih saja terjadi peristiwa peledakan Pakistan, Afghanistan, Middle East Asia, Perang Militansi Macan Tamil Srilangka, Philipina, dan bencana alam. "Ketika seseorang telah meninggal, jasadnya sudah mati, namun rohnya masih hidup, kekal hingga hari kebangkitan". Dan gambaran protes tuntutan, adalah mereka-mereka yang meninggal akibat korban fenomena (meninggal tanpa mengetahui siapa pelaku sebenarnya). Dan terbentuklah JSKK - Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban. Agar kejadian tidak berulang kembali, dan mengusut dalang pelakunya.
1 komentar:
U2 dan Sting (juga Joan Baez) mendedikasikan satu karyanya untuk ibu-ibu plaza de mayo saya pikir juga semua ibu anak-anak yang dihilangkan di negeri ini
silah kunjung untuk link you tube konser kedua musisi dunia ini di argentina
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/ibu-ibu-plaza-de-mayo-ibu-anak-anak.html
lirik dari U2 – Mothers of the Disappeared – Live Popmart Santiago 1998
Midnight, our sons and daughters
Were cut down and taken from us
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat
In the wind, we hear their laughter
In the rain, we see their tears
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat
Ooooh…
Night hangs like a prisoner
Stretched over black and blue
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat
In the trees, our sons stand naked
Through the walls, our daughters cry
See their tears in the rainfall.
Sting w/ Peter Gabriel – They dance alone – Argentina ´88
Why are there women here dancing on their own?
Why is there this sadness in their eyes?
Why are the soldiers here
Their faces fixed like stone?
I can’t see what it is that they dispise
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone
It’s the only form of protest they’re allowed
I’ve seen their silent faces scream so loud
If they were to speak these words they’d go missing too
Another woman on a torture table what else can they do
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone
One day we’ll dance on their graves
One day we’ll sing our freedom
One day we’ll laugh in our joy
And we’ll dance
One day we’ll dance on their graves
One day we’ll sing our freedom
One day we’ll laugh in our joy
And we’ll dance
Ellas danzan con los desaparecidos
Ellas danzan con los muertos
Ellas danzan con amores invisibles
Ellas danzan con silenciosa angustia
Danzan con sus pardres
Danzan con sus hijos
Danzan con sus esposos
Ellas danzan solas
Danzan solas
Hey Mr. Pinochet
You’ve sown a bitter crop
It’s foreign money that supports you
One day the money’s going to stop
No wages for your torturers
No budget for your guns
Can you think of your own mother
Dancin’ with her invisible son
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
They’re anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone
Posting Komentar